Prospek Hak Pakai Sebagai Obyek Hak Tanggungan


Oleh : Dr. Darwin Ginting, SH., MH

Dalam kesempatan ini penulis memilih hak pakai di atas tanah Negara sebagai obyek hak tanggungan, karena hak pakai pada umumnya terdapat di perkotaan oleh karena itu mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, sehingga sangat disayangkan kalau hak pakai tidak diberdayakan dalam menunjang roda ekonomi pemilik tanah, masyarakat dan Negara. Di samping itu, hak pakai dimasa mendatang memiliki prospek yang baik karena Hak Pakai yang menurut hukum dapat dimiliki  tidak saja oleh warga Negara Indonesia dan badan hukum Indonesia tapi juga oleh pihak asing baik perorangan maupun badan hukum asing.

Pasal 42 dan Pasal 43  UU No. 5 tahun 1960 diikuti dengan pasal 39 s/d 58 Peraturan Pemerintah (PP) 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU) Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) dan peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 7 yang kemudian diganti dengan No. 8 tahun 1996 tentang Persyaratan Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing tidak lain adalah untuk memberikan kemudahan yang diciptakan oleh pemerintah, sehingga diharapkan akan dapat menciptakan suasana kondusif bagi pelaku-pelaku ekonomi, agar tidak ragu-ragu untuk berinvestasi di Indonesia.

Secara ekonomis pemerintah telah memberikan  kepastian bahwa hak pakai bankable berdasarkan Undang-undang No 4 tahun 1996 dan  peraturan pemerintah No.40 Tahun 1996, dimana hak pakai dapat dijadikan  jaminan kredit kepada bank dengan menunjuk hak pakai sebagai obyek hak tanggungan. Tetapi didalam praktek secara umum lembaga perbankan masih enggan untuk menerima hak pakai di atas tanah Negara sebagai jaminan piutangnya baik untuk modal kerja, kredit investasi dan kredit konsumtif dengan alasan yang tidak jelas  kecuali kredit perumahan khususnya rumah susun atau apartemen.

Padahal  Ini merupakan potensi yang menarik yang ditawarkan kepada  masyarakat, investor dalam negeri dan  investor asing. Meskipun dalam praktek belum semua bank mau menerima Jaminan Tanah Hak Pakai, karena belum dimengerti dan dipahaminya aspek-aspek yuridis maupun prospek investasi dan bisnis menyangkut Tanah Hak Pakai, yang  subyek hukumnya (pemiliknya) lebih luas dibandingkan dengan tanah hak lainnya, sehingga hak pakai mempunyai prospektif dalam era global sekarang. Bagi warga Negara asing mendapat kepastian memiliki hak pakai untuk kebutuhan sebagai kantor ataupun membangun rumah tinggal. 

UUPA maupun peraturan pelaksananya juga melindungi pihak asing sebagai pemegang Tanah Hak Pakai. Tanah Hak Pakai diberikan jangka waktu 25 tahun dan perpanjangan 20 tahun dan pembaharuan hak 25 tahun, sehingga total 70 tahun.

Terobosan lain yang telah dilakukan pemerintah merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961, tentang Pendaftaran Tanah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Adapun terobosan yang diberikan oleh peraturan tersebut memberikan perlindungan kepada pemegang hak atas tanah yang menguasai tanah dengan itikad baik dalam arti sesuai dengan prosedur yang berlaku tidak dapat digugat lagi ke pengadilan apabila sudah melampaui lima tahun sejak tanggal penerbitan sertipikatnya, ini yang dikenal dengan lembaga rechtsverwerking.

Hal ini adalah upaya untuk menciptakan ketenangan dan memberikan kepastian bagi pemegang hak atas tanah yang selama ini tidak dapat tidur nyenyak karena sebagai pemegang sertipikat tanah yang sah, masih belum luput dari gugatan pihak lain, sehingga menjadi handicap yang ditakuti investor terlebih-lebih oleh pihak asing yang ingin berinvestasi di Indonesia.

Memang keberadaan hak pakai sebagai obyek hak tanggungan masih ditemukan beberapa kendala normatif dan teknis, antara lain :

  1. Semenjak tahun 1996, ketentuan-ketentuan tentang hipotik berkaitan dengan tanah yang diatur KUH Perdata tidak berlaku lagi, karena Indonesia telah mempunyai undang-undang yang mengatur tentang lembaga jaminan berkaitan dengan tanah yaitu UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah.  Memperhatikan isi Pasal 51 UUPA, maka hanya 3 (tiga) bentuk hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak tanggungan. Di dalam UU No. 4 Tahun 1996, bentuk hak tersebut diperluas, yaitu dengan menjadikan hak pakai atas tanah Negara sebagai salah satu bentuk hak yang dapat dibebani dengan hak tanggungan (Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996). UUPA tidak menganut asas accessi tetapi mengenal asas horizontalescheiding. Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan, menjadikan hak guna usaha dan hak guna bangunan (Pasal 51 UUPA) sebagai obyek hak hipotik atau credietverband adalah bertentangan dengan asas yang dianut di dalam UUPA. Tentunya hal itu tidak jauh berbeda dengan menjadikan hak pakai atas tanah Negara sebagai obyek hak hipotik. Sama halnya dengan hak guna bangunan dan hak guna usaha, menjaminkan hak pakai atas  tanah Negara berarti menjaminkan semua benda dan hak yang terdapat di atas tanah yang dimiliki, sementara tanahnya sendiri tidak dapat dimiliki. Oleh karena itu, menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan , hak-hak atas tanah tersebut (hak guna usaha dan hak guna bangunan) hanya dapat dijaminkan melalui fidusia. Berkaitan dengan menjadikan hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, Surat Edaran Dirjen Agraria No. DBL 3/37/3-73 tanggal 6 Maret 1973 menyatakan bahwa hak pakai tidak dapat dijadikan obyek hak tanggungan. Akibat dari ketentuan ini, maka praktek perbankan mengambil jalan keluar sendiri di dalam  menjadikan hak pakai sebagai obyek jaminan utang, yaitu dengan memilih lembaga fidusia. Praktik perbankan ini kemudian diperkuat oleh UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Dalam hal  hak pakai ditunjuk  sebagai obyek jaminan, maka di sini terlihat adanya pemisahan vertical antara tanah dengan bangunan atau tanaman yang ditanam di atasnya. Dinyatakan ada pemisahan vertical adalah karena isi dari hak pakai atau kewenangan privat yang terdapat pada hak pakai yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil. Berdasarkan kewenangan privat tersebut, maka sudah barang tentu yang dijadikan jaminan adalah semua yang menjadi kewenangan (hak) privat tersebut, sementara tanahnya sendiri apabila telah habis masa berlaku hak pakai akan kembali menjadi tanah Negara. Dengan menjadikan hak pakai sebagai obyek hak tanggungan, maka terjadi  insinkronisasi antara UUPA dengan UU No. 4 Tahun 1996 dan PP No. 40 Tahun 1996. 
  2. Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda yaitu, fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan. Dalam berbagai literatur fidusia lajim disebut dengan istilah eigendom overdract (FEO), yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan.

Latar belakang timbulnya fidusia menurut para ahli adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang cepat berkembang.

Dengan adanya berbagai kelemahan di atas dalam praktek timbul lembaga baru yaitu fidusia. Di Indonesia lembaga fidusia lahir berdasarkan Arrest Hoggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest). Lahirnya Arrest ini karena pengaruh asas konkordansi. Lahirnya Arrest ini juga dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dari pengusaha-pengusaha kecil/pedagang menengah dan pedagang grosir yang memerlukan fasilitas kredit untuk usahanya.

Perkembangan perundang-undangan fidusia sangat lambat karena undang-undang yang mengatur tentang jaminan fidusia dalam hukum positip Indonesia baru lahir tahun 1999 setelah  era reformasi.

Dengan demikian bila dilihat dari dasar hukum jaminan fidusia di Indonesia adalah sebagai berikut :

  1. Arrest Hoge Raad 1929 tanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouweritj Arrest.
  2. Arrest Hoggerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 (BPM-Clynet Arrest), dan
  3. Undang-undang No. 42 tentang Jaminan Fidusia.

Bila dilihat secara historis, maka pada mulanya hak pakai dikelompokan kedalam benda bergerak hal ini dikuatkan oleh putusan mahkamah agung No. 372K/SIP/1972 dalam kasus Lo Ding Siang. Demikian juga pendapat para ahli yang mendukung bahwa hak pakai dapat dikelompokan sebagai benda bergerak.

Pandangan ini kemudian makin diteguhkan dengan lahirnya undang-undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

Pasal 12 UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun khususnya ayat (1) menjelaskan bahwa : “Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan :

  1. dibebani hipotik, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan ;
  2. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah Negara.”

Dengan dijadikan hak pakai atas tanah Negara menjadi obyek fidusia berarti hak pakai termasuk ke dalam katagori benda bergerak, namun kemudian di dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, hak pakai atas tanah Negara, dimasukkan ke dalam katagori benda tetap.

Hal ini terlihat dari hak pakai dapat dibebani dengan hak tanggungan. Pasal 4 ayat (2) UUHT memungkinkan hak pakai atas tanah Negara, sebagai obyek hak tanggungan. Secara lengkap Pasal 4 menyatakan :

(1).  Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah :

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

C. Hak Guna Bangunan

(2) “Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan”.

Memperhatikan isi Pasal 4 ayat (2) di atas, terlihat bahwa dasar menjadikan hak pakai atas tanah Negara sebagai obyek hak tanggungan adalah karena hak pakai wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Keberadaan hak pakai atas tanah Negara sebagai obyek hak tanggungan kemudian dipertegas dengan Pasal 53 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Pada Pasal 53 ayat (1) PP No. 40 dinyatakan bahwa:

“Hak pakai atas tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak Tanggungan”.

Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 1 Tahun 1977, Hak atas tanah yang dapat di berikan di atas hak pengelolaan adalah hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai.

Sedangkan pemasangan hak tanggungan  tanah di atas hak pengelolaan hanya dapat di lakukan setelah mendapat persetujuan dari pemegang hak pengelolaan, demikian ditegaskan oleh Surat menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 630.1.3433 tanggal 17 September 1998,yang pada intinya menegaskan bahwa semua hak atas tanah yang diterbitkan di atas hak pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang termasuk di dalamnya hak pakai atas tanah negara dengan dibebani hak tanggungan setelah mendapat persetujuan tertulis dari pemegang hak pengelolaan.

Oleh karena itu ada kemungkinan pengalihan hak pakai atas tanah negara ketika terjadi eksekusi hak tanggungan, maka persetujuan pemegang hak pengelolaan terhadap pembebanan hak pakai atas tanah negara di atas hak pengelolaan berlaku sebagai persetujuan pengalihannya.

Dengan demikian terdapat perbedaan pembebanan hak pakai atas tanah negara versi Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dengan Hak pakai atas tanah negara versi hak pengelolaan. Hal ini penting untuk di perhatikan oleh lembaga perbankkan, sehingga tidak menemui kesulitan pada saat terjadi kredit macet untuk menjual atau melelang obyek hak tanggungan.

Dari uraian dan analisis yuridis tentang obyek, subyek dan jangka waktu hak pakai atas tanah Negara terhadap hak tanggungan, maka perlu diperhatikan sebagai berikut :

  1. Obyek hak pakai atas tanah Negara yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan adalah hak pakai yang mempunyai jangka waktu tertentu, dan penggunaannya dapat untuk perkebunan, industry manufaktur, pariwisata, perkantoran, pemukiman dan sebagainya, hak pakai ini  dikenal pula dengan nama hak pakai privat.
  2. Khusus hak pakai di atas hak pengelolaan dapat dijadikan obyek hak tanggungan setelah mendapat persetujuan pemegang hak pengelolaan.
  3. Yang berhak dijadikan subyek atau pemberi hak tanggungan adalah warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia, warga Negara asing yang berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia yang sekaligus sebagai subyek tanah hak pakai dengan jangka waktu tertentu, atau dikenal pula dengan nama Hak Pakai Privat.
  4. Hak pakai atas tanah Negara baik langsung maupun hak pakai yang terbit di atas hak pengelolaan bila dijadikan obyek hak tanggungan atau bila dilakukan pemasangan hak tanggungan perlu diperhatikan jangka waktunya, artinya jangka waktu tanah hak pakai harus lebih panjang bila dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian kredit. Untuk keamanan lembaga perbankan atau kreditur (pemegang hak tanggungan), maka sebaiknya jangka waktu hak pakai yang dijadikan obyek hak tanggungan minimal jangka waktu hak pakai 2 (dua) tahun lebih panjang dibandingkan dengan jangka waktu perjanjian kredit antara pemberi hak tanggungan (debitur) dengan penerima hak tanggungan (kreditur).
  5. Berdasarkan hukum positif yang terkait dengan lembaga jaminan, maka hak pakai atas tanah Negara telah diatur secara vertikal sebagai obyek hak tanggungan.
  6. Secara vertikal terdapat ketidak sinkronan antara Undang-Undang Pokok Agraria, dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan serta Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, maka kedepan perlu dilakukan harmonisasi secara horizontal dan sinkronisasi secara vertikal terhadap semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Undang-Undang Pokok Agraria, dalam rangka menunjang pembaharuan Undang-Undang Pokok Agraria No. 6 Tahun 1960.

Dr. Darwin Ginting, SH., MH @ adalah Ketua Dewan Pakar PP IPPAT, Dosen Hukum Agraria, Hukum Tanah Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Hukum Bandung dan Pasca Sarjana Universitas Parahyangan Bandung, serta Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah Kabupaten Bandung Barat.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *