Pengelolaan Hak Atas Tanah di Kamboja (Catatan Arini, Tim Humas PP IPPAT)


(Dok : KBRI di Phnom Penh)

Pengantar :

Selama berada di Phnom Penh, Kamboja, Arini Jauharoh, Tim Humas PP IPPAT melakukan liputan mendalam mengenai “Hak Atas Tanah di Negara Kerajaan Kamboja”.

Ada yang menarik, karena tata kelola tanah di Kamboja mengalami perubahan mendasar, yang sebelumnya tanah dikuasai sepenuhnya oleh negara, tetapi saat ini rakyat bisa memiliki tanah tersebut.

Berikut hasil liputan Arini Jauharoh, tim Humas PP IPPAT yang tersaji dalam portal www.ppippat.org.

Phnom penh, ppippat.org, Berkesempatan mengunjungi Kamboja, saat meliput dan memberikan dukungan untuk para atlit yang berlaga pada pentas Sea Games beberapa minggu lalu, saya tertarik ingin melakukan investigasi sisi lain dari Kamboja.

Sembari berkeliling Kota Phnom Penh, ibu kota Kamboja yang memiliki view atau pemandangan yang indah dan nyaman di pandang mata, saya berusaha mendapatkan informasi mengenai tata kelola pertanahan di Kamboja.

Saya kemudian bertemu dengan warga setempat untuk menanyakan beberapa hal mengenai status tanah atau hak atas tanah di Kamboja. Ek Shophoeun, warga Phnom Penh, yang kini bekerja sebagai staf KBRI di Phnom Penh bersedia memberikan informasi tersebut.

Ek Shophoeun, warga Phnom Penh, bekerja sebagai staf KBRI di Phnom Penh.

Sebelum Kamboja merdeka dari Perancis pada tahun 1953, semua tanah adalah milik raja. Rezim Khmer Merah “menghancurkan” semua catatan property di Kamboja pada 1975-1979, sebagai bagian dari upaya para pemimpin totaliter untuk mencabut property pribadi dan menjadikan Kamboja sebagai negara agraris yang radikal dan terisolasi, demi kepemilikan negara.

Semua tanah dan properti dikumpulkan di bawah rezim Khmer Merah. Selain itu, sebagian besar penduduk kehilangan atau meninggalkan rumah mereka sebagai akibat dari desakan migrasi paksa.

Namun dalam perkembangannya, setelah Kamboja merdeka dari Prancis pada 1953, tata kelola pertanahan mengalami kemajuan. Reformasi pertanahan digulirkan. Sesuai nomenklatur, Urusan pertanahan ditangani Kementerian Pengelolaan Lahan, Perencanaan Kota dan Konstruksi.

Monarhi Kamboja mulai mengakui hak kepemilikan pribadi. Untuk pertama kalinya sejak tahun 1975, hak individu untuk memiliki properti dan tanah diabadikan dalam konstitusi.

Tahun 1993 dilakukan Pemulihan kepemilikan pribadi dalam konstitusi, setelah pemerintah menerbitkan aturan baru mengenai pertanahan yaitu Hukum Pertanahan Kamboja (Land Law of 1992) yang diundangkan dengan Keputusan No. 100 pada tanggal 13 Oktober 1992 dan sebelumnya telah disetujui oleh Majelis Nasional Negara Kamboja pada 10 Agustus 1992.

Mengutip laman Seri Mongabay, Undang-Undang Pertanahan Kamboja dipulihkan pada 2001. Kerangka hukum yang cukup maju untuk kepemilikan dan pengelolaan lahan, konsesi Lahan Ekonomis (ELC) dan Konsensi Lahan Sosial (SLC) merupakan pilar penting dari UU tersebut.

“Pada tahun 2001 dilakukan Pengesahan Hukum Pertanahan. Disponsori oleh Bank Dunia, Hukum Pertanahan menjadi landasan untuk investasi skala besar dan pembangunan perkotaan. Kepemilikan tanah semata-mata tergantung pada pendaftaran kadaster pusat”, ungkap Ex Shophoeun.

Pedestrian jalan di pinggir sungai Mekong, Phnom Phen tertata rapi (foto : Arini)

Tahun 2003 diterbitkan Surat Keputusan No 19 tentang Konsesi Lahan Sosial (SLC). SLC akan memberikan tanah dengan hak milik kepada keluarga miskin tanah atau tidak memiliki tanah di pedesaan dan perkotaan di seluruh negeri.

Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Kamboja telah mendaftarkan 5,2 juta bidang tanah.

Demikian pula tahun 2005 telah diterbitkan Surat Keputusan No. 146 tentang Konsesi Lahan Ekonomis (ELCs) oleh Kementerian Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. memberikan konsesi pada lahan milik negara untuk mempromosikan investasi agroindustri.

Namun pada 2012, setelah banyak kritik (internasional) terkait kasus penggusuran dan hilangnya mata pencaharian dan hutan terkait konsesi, Perdana Menteri Hun Sen mengumumkan moratorium ELC.

Menurut Ek Shophoeun, sama seperti di Indonesia, hanya perorangan atau badan hukum berkebangsaan Kamboja yang berhak memiliki tanah. Undang-undang mengakui sewa jangka pendek dan sewa jangka panjang (15-99 tahun) dari tanah pribadi.

“Tanah milik negara juga dapat dijual kepada swasta yang berkebangsaan Kamboja atau dialihkan melalui sewa dan konsesi tanah dengan persyaratan tertentu”, ungkap Shophoeun.

Dia menambahkan kepemilikan tanah tersebut hanya berlaku untuk tanah yang dikuasai setelah tahun 1979.

“Jika ada yang mengklaim tanah yang dimiliki sebelum 1979, maka tidak bisa diajukan dan didaftarkan untuk dimiliki”, jelas Shophoeun.

Menariknya dalam tata kelola pertanahan di Kamboja terdapat kepemilikan khusus untuk perempuan. Perempuan “single parent” dan menjadi kepala keluarga bisa mendapatkan kepemilikan, namun dipandang adanya diskiriminasi terhadap kepemilikan tHak Atas Tanah Perempuan tersebut.

Suasana kota Phnom Penh Dok : KBRI di Phnom Penh)

Sesuai dengan Hukum Pertanahan, melalui kebijakan redistribusi 1990 an, perempuan yang mengepalai rumah tangga, mendapatkan haknya atas tanah yang dibatasi atau lebih sedikit dan kualitas lahannya juga lebih rendah dibanding dengan laki-laki yang mengepalai rumah tangga.

Mengutip Anne Hennings, peneliti dari Universitas Koblenza Landau Jerman, yang menulis “Perut Kegelapan Perebutan Tanah Dampak Aktivitas Perempuan dan Perlawanan Emosional Terhadap Peran Gender di Kamboja”, 2019 dalam land portal.org, disebutkan akibat kebijakan pertanahan tersebut banyak perempuan yang terkena dampak, dan mereka bangkit meski status sosial mereka lebih rendah.

Para aktivis perempuan perkotaan dan pedesaan protes atas kebijakan kepemilikan tanah tersebut.

Bagaimana dengan harga tanah di Kamboja khususya di Phnom Penh, Ek Shophoeun mengungkapkan harganya semakin melejit saja.

“Intinya hampir sama dengan Indonesia, tanah bisa dijual belikan antar warga Kamboja”, kata dia yang pernah mengeyam pendidikan di Universitas Mpu Tantular ini.

Menurut Ek Shophoeun, Indonesia di mata warga Kamboja adalah intimewa.

Politik bebas aktif Indonesia dirasakan memberi manfaat untuk Kamboja.

Istana Kerajaan Kamboja (Foto : Arini)

Bagi Kerajaan Kamboja, Indonesia adalah sahabat sejati. Bahkan Indonesia ikut andil dalam memajukan kamboja. Setidaknya Indonesia ikut mendorong Kamboja masuk dalam grup Asia Tenggara.

Adalah mantan Menteri Luar Negeri Ali Al Atas, sosok menteri yang disebut ikut membantu mempromosikan kamboja dalam percaturan Internasional dan mengusulkan agar Kamboja menjadi anggota Asean.

Demikian pula mantan Presiden Pertama, Ir Sukarno adalah tokoh yang sangat dikagumi dan dihormati oleh Kamboja.

Karena jasa kedua tokoh nasional tersebut, nama Ir. Sukarno dan Ali Al Atas diabadikan menjadi nama jalan di kota Phnom Penh.

Duta Besar RI untuk Kamboja, Sudirman Haseng saat melakukan kunjungan kehormatan kepada Gubernur Phnom Penh Khuong Sreng, pada 17 Januari 2023, sempat meninjau lokasi dua jalan yang akan diberi nama Jalan Soekarno dan Jalan Ali Alatas tersebut.

Khuong Sreng mengatakan kepada delegasi bahwa Persahabatan Kerajaan Kamboja dengan Indonesia telah berkontribusi pada perkembangan Kamboja modern, dengan Perdana Menteri Hun Sen memutuskan untuk menamai jalan-jalan tersebut menggunakan nama kedua pemimpin Indonesia sebagai ungkapan terima kasih.

“Kedua jalan tersebut diberi nama Jalan Soekarno dan Jalan Ali Alatas sebagai ungkapan terima kasih kepada pimpinan Republik Indonesia yang telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Kamboja,” ujar Gubernur Sreng seperti dikutip dari The Star.my, Kamis (19/1/2023).

Sementara itu, Dubes Sudirman mengucapkan terima kasih atas jalan yang diberi nama mantan negarawan Indonesia itu dan memuji perkembangan pesat Phnom Penh.

Kedua jalan tersebut akan menghubungkan National Road 6 ke Win-Win Boulevard di Distrik Chroy Changvar dan diharapkan dapat meningkatkan kondisi lalu lintas di ibu kota, terutama ketika Kamboja menjadi tuan rumah Pesta Olahraga Asia Tenggara (Sea Games) ke-32 dan Para Games ke-12 pada bulan Mei tahun ini.

Hingga saat ini, Hubungan persahabatan Indonesia dengan Kamboja semakin intens. Dalam sejarah babad Jawa, Putri Campa, yang asli Kamboja dikenal sebagai istri Prabu Brawijaya V, ayahanda Raden Patah, Raja Pertama Kerajaan Demak Bintoro. Sehingga antara Indonesia dengan Kamboja memiliki hubungan emosional dan perdarahan yang tidak mudah dipisahkan.

Hubungan diplomatik yang harmonis kedua negara setidaknya terlihat dengan banyaknya staf Kedubes RI untuk Kamboja yang mempekerjakan warga asli Kamboja.

“Setidaknya ada 16 staf kedubes Indonesia di Phnom Phen adalah warga Kamboja. Ragam budaya Indonesia juga dikenal luas di Kamboja. Para staf kedubes Indonesia asal Kamboja tersebut, setiap hari selalu memakai baju batik”, pungkas Shophoeun.

Hubungan diplomatik dan persahabatan Indonesia Kamboja patut diapresiasi dan menginspirasi generasi muda kedua negara.

Menarik bukan. Itulah cerita yang bisa saya bagikan untuk para sahabat IPPAT di Nusantara. Sampai bertemu dalam episode berbagi cerita “Sahabat IPPAT” berikutnya. (Arini/Syam/Humas PP IPPAT)


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *