Bogor, ppippat.org. PP IPPAT menghadiri Rapat Rancangan Kajian Kebijakan Pengaturan Buku Tanah dan Akta Elektronik Untuk Mendukung Transformasi Digital Layanan Peralihan Hak Atas Tanah, yang diselenggarakan oleh Pusat Pengembangan dan Standarisasi Kebijakan Agraria, Tata Ruang dan Pertanahan, Kementerian Agraria Tata Ruang Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) RI di Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Rabu, 12 April 2023.

Dalam rapat tersebut Ketum IPPAT didampingi Dr. Bambang S Oyong, SH, MH. (Kabid Organisasi) Dr. Ely Baharini, SH., MH, Sp.N (Kabid Peraturan dan Perundang-undangan, Dr. Aksal Arsyad, SH.MH (Kabid Pelayanan Hukum, Advokasi, dan Non Litigasi) dan Dr. Rudy Haposan, SH., MH (Kabid Seminar Hukum PP IPPAT).
Selain PP IPPAT hadir dalam rapat tersebut perwakilan dari Direktorat Pengaturan Pendaftaran Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang Kementerian ATR BPN RI, Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang dam Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Pusdatin), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Ketum IPPAT Hapendi Harahap menyampaikan materi mengenai kedudukan Hukum Akta PPAT dalam Perubahan Data Pendaftaran Tanah. Hapendi Harahap menjelaskan masalah utama PPAT dalam menjalankan jabatannya terkait kewajiban menyampaikan akta.

Menurut PP 24 Tahun 1997 Jonto PMNA Nomor 3 Tahun 1997 kewajiban melakukan pendaftaran akta PPAT adalah penerima hak bukan PPAT, sehingga seharusnya semua akta yang disampaikan oleh PPAT diterima tanpa diwajibkan membayar PNBP lebih dahulu. “Karena kewajiban membayar PNBP adalah pembeli saat pembeli melakukan pengurusan peralihan hak”, jelas Hapendi.
Disi lain yaitu dalam Undang-undang Hak Tanggungan, kewajiban melakukan dan memastikan pendaftaran akta ada pada PPAT, telah membebankan PPAT tanggung jawab yang berat dikarenakan adanya kewajiban bahwa penyampaikan APHT selambat-lambatnya 7 hari kerja dan PPAT tidak diberikan hak yang sah untuk memungut honor dari kewajiban yang dibebankan UUHT ini.
Menurut Ketum IPPAT kurang jelasnya konsep dan tujuan penyampaian akta PPAT ini disebabkan adanya dua istilah yang dipakai oleh peraturan yaitu penyampaian akta dan pendaftaran akta.

“Konsep penyampaikan akta oleh PPAT dan Pengurusan pendaftaran akta oleh penerima hak adalah salah satu sumber masalah dalam pendaftaran pertanahan”, jelas Hapendi.
Lebih lanjut Hapendi menjelaskan “Dari pembedaan konsep inilah lahir isu bahwa 80 persen Pelayanan Pendaftaran Tanah melalui lembaga kuasa yang selanjutnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ditengarai sebagai salah satu pemicu biaya tinggi dan pungutan liar”, ungkap Hapendi.
Hapendi menambahkan “Semoga ke depan pendaftaran secara online tidak menganut pendaftaran ganda yaitu penyampaian akta oleh PPAT dan pengurusan pendaftaran tanah oleh penerima hak. Karena dikawatirkan akan banyak menimbulkan masalah hukum baru karena semua pembeli wajib menjadi pengguna terdaftar”, pungkas Hapendi.
Dalam kajian tersebut juga disampaikan paparan mengenai Pengaturan Buku Tanah dan Akta Elektronik Untuk Mendukung Trasformasi Digital Layanan Peralihan Hak Atas Tanah oleh YC Fajar Nugroho, ST., M.Sc, Kepala Subdirektorat Pengembangan Sistem Pelayanan Pertanahan Direktorat Pengaturan Pendaftaran Pengaturan Pendaftaran Tanah dan Ruang, Kementerian ATR BPN RI.
Pusdatin menyampaikan materi mengenai Layanan Elektronik dan Transformasi Digital Pertanahan.Sedangkan Direktorat Layanan Aplikasi Informatika Pemerintahan, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menyampaikan materi mengenai Tranformasi Digital Layanan Peralihan Hak Atas Tanah.
Dalam kesempatan terpisah PP IPPAT juga menghadiri Forum Grup Diskusi (FGD) bersama Pusdatin mengenai Pelaporan Akta PPAT secara elektronik (Online) di Grand Mahakam, Jakarta Selatan, Kamis (13/4/2023)

Hadir Ketum IPPAT Dr. Hapendi Harahap, SH.MH. Sp.N, didampingi Sekum IPPAT Otty Hary Candra Ubayani, SH., Sp.N. MH dan Kabid Peraturan dan Perundang-undangan Dr. Ely Baharini, SH.Sp.N.MH. (Humas PP IPPAT)